Rabu, 22 September 2010

Sepakbola, Emosi, dan Kerusuhan

Mungkin cuma di Indonesia penonton bisa terjun langsung menggapluk wasit dan hakim garis. Saking sudah sedemikian mendarah daging, sampai-sampai Yvgeny Khamaruc mencekik Cristian Gonzales dan Serghei Dubrovin memburu asisten wasit. Memang bukan hal baru karena (hampir) setiap pertandingan selalu berakhir rusuh. Soal official saling gebuk juga bukan hal baru. Sekitar dua tahun lalu, pertandingan antara Persigo dan Persiwa juga diwarnai official saling berantem. Mestinya hak siar sepakbola di Indonesia naik harganya karena tayangan 90 menit masih ditambah bonus rusuh 2-3 jam sesudahnya.
Bola memang sering membuat penggemarnya bertindak agresif dan irasional. Daniel Rees dan Kevin Schnepel yang meneliti pertandingan (american) football antar college di Amerika (NCAA) menemukan kerusuhan meningkat 9%, vandalisme naik 18%, dan penangkapan pengemudi yang mabuk sebesar 13% setiap terjadi pertandingan. Kalau tuan rumah mengalami kekalahan dalam pertandingan penting, vandalisme naik 61% dan kerusuhan naik jadi 112%. Jika pertandingan dilangsungkan pada hari Sabtu, angka-angka tersebut naik 0,5%.
Menurut Rees dan Schnepel, kerusuhan tersebut terjadi karena frustasi penggemar yang merasa tim kesayangannya “berhak” mendapat hasil yang lebih baik. Rasa frustasi itulah yang mendorong mereka berbuat rusuh. Dalam kasus tertentu, tim pemenang pun juga bisa membuat rusuh—-misalnya ketika tim peringkat bawah secara mengejutkan mengalahkan tim peringkat atas. Di Morgantown, West Virginia, atau di seputaran University of Connecticut hampir selalu terjadi pengrusakan walaupun tim tuan rumah menang.
Penelitian lain yang dilakukan White, Garland, Janet Katz, dan Kathryn Scarborough pada tahun 1988-1989 menemukan bahwa setiap kali Washington Redskins bermain dan menang, instalasi gawat darurat dua rumah sakit di Virginia Utara selalu kebanjiran pasien yang semuanya perempuan. Football memang begitu populer di Amerika—-seperti halnya sepakbola (soccer) di Indonesia. Tahun 1998 misalnya, hanya ditonton oleh 37,4 juta penggemar, tapi pada tahun 2006 sudah hampir 50 juta penggemar.
Faktor lain yang juga turut menyumbang kerusuhan adalah alkohol, karena jamak dilakukan menonton pertandingan olahraga sambil mabuk. Namun selain itu, Profesor Dahl dan Stefano DellaVigna dari University of California, Berkeley, menyatakan bahwa kerusuhan juga timbul karena pengaruh film penuh yang kekerasan. Di Amerika, sekitar seribu film ditayangkan tiap minggunya—-di mana yang digemari adalah yang penuh kekerasan, seperti Crank, Lucky Number Slevin, Kill Bill, dan sebagainya.
Di luar negeri, sepakbola (soccer), football, atau pertandingan lain yang berujung rusuh memang beberapa kali terjadi, namun biasanya dilakukan di luar lapangan. Dengan demikian, pertandingan tidak terhenti dan fasilitas dalam stadion relatif tidak menjadi korban. Namun yang menarik, masih menurut Rees dan Schnepel, penambahan jumlah polisi ternyata tidak menyelesaikan masalah—-terkadang malah bisa memicu kerusuhan yang lebih besar.
Dalam paper yang lain, Daniel Wann menjelaskan adanya “social learning theory” yaitu ketika seorang penggemar melihat pemain favoritnya melakukan penyerangan pada lawan mainnya, akan memberikan efek provokasi balik terhadap penggemar untuk ikut menyerang pendukung tim lawan. Mungkin sudah saatnya pemain sepakbola di Indonesia tak cuma dilatih soal fisik, tetapi juga soal menahan emosi, menghargai lawan main, dan terutama menghormati keputusan wasit.
Tentu saja hal ini mustahil dilakukan bila organisasi induknya masih dijalankan oleh orang-orang yang hanya mengurusi uang dan tak bisa mengagungkan sportivitas sepakbola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar