Rabu, 22 September 2010

Hapus Ketimpangan Sosial

Keberhasilan pembangunan tidak bisa hanya diukur dari membaiknya inidikator makroekonomi. Anatomi masyarakat dan fenomena sosial yang berkembang juga perlu diperhatikan.
GIANYAR - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah akan menyempurnakan dan memastikan bahwa kebijakan pro rakyat yang dirancang telah tepat sasaran.Kebijakan itu bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga lima tahun mendatang diharapkan tidak ada lagi ketimpangan sosial.
"WNI yang mengalami masalah sosial tentu menjadi amanah kita untuk menangani dengan baik. Oleh karena itu, jangan hanya melihat rakyat dari segi jumlah, dari segi income per kapita, pengangguran yang berkurang, kemiskinan berkurang. Kalau kita potret lebih tajam, ternyata ada kelompok yang mengalami persoalan (sosial) seperti itu," kata Presiden di hadapan peserta Rapat Kerja di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali, Senin (19/4).Rapat yang akan berlangsung hingga Rabu (21/4) itu dihadiri oleh seluruh menteri, gubernur, ketua DPRD, pemimpin BUMN, dan lembaga pemerintah.Yudhoyono mengharapkan seluruh pejabat negara, mulai dari presiden hingga abdi negara terdepan, yaitu lurah, menjalankan program pro rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai contoh fenomena sosial seperti anak-anak penderita autis. Di dunia, penderita autis mencapai 67 juta jiwa dan terus berkembang. "Indonesia juga ada ini (autisme), tidak bisa kita abaikan. Tidak cukup statistik kita meningkat tanpa melihat lebih gamblang anatomi masyarakat kita," kata Presiden.Kepala Negara meminta seluruh jajarannya tidak mengabaikan beragam masalah sosial yang berkembang di masyarakat. "Mari mu-lai hari ini kita tangani secara benar dan bertanggung jawab agar pembangunan kita berkeadilan," kata Presiden.
Terkait dengan hal itu. Presiden mengemukakan tiga arahan kepada seluruh jajarannya untuk dibahas dalam raker dan diimplementasikan dalam kebijakan. Pertama, menyelesaikan persoalan sosial dari hulu permasalahan. "Prakondisi yang eksis, kemiskinan absolut, keterbelakangan di beberapa kantong masyarakat, lingkungan yang jauh dari sehat," kata dia.Kedua, memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan, program keluarga berencana (KB), dan pengetahuan tentang gaya hidup yang benar. "Pastikan tiap rumah tangga mendapatkan materi pendidikan, bimbingan penyuluhan, agar mengubah gaya hidup dan kelalaian masyarakat seraya meningkatkan penghasilan," kata dia.
Ketiga, di sisi hilir atau pelak-sanaan program harus dilakukan langkah yang efektif. "Program pro rakyat dievaluasi sehingga menyentuh semua. Anggaran yang dikeluarkan harus pas dan tepat," kata Presiden.Sementara itu, pengamat ekonomi kemiskinan dari Universitas Indonesia , Sonny Harry Budiuto-mo Harmadi, ketika dihubungi, Senin, mengatakan untuk menekan laju kemiskinan dalam studi ekonomi, bisa dilakukan pendekatan kualitatif. Misalnya mengenalkan budaya modern pada masyarakat, mengenalkan budaya hidup sehat, dan mengenalkan tata cara pertanian yang baik. Hal itu, tambah dia, penekanannya lebih pada tata cara. Namun tetap saja tidak bisa mengabaikan realitas data sebagai bahan mentahnya.
Kemampuan Turun
Peneliti ekonomi senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, menilai kemampuan pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengurangi tingkat pengangguran telah menurun sehingga tidak bisa menjadi ukuran dalam menjamin keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan asumsi penciptaan lapangan kerja sebagai hasil dari indikator makro tersebut karena ke depan upaya pengurangan pengangguran semakin sulit.
"Ada fenomena di mana kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja kian menurun belakangan ini," kata dia, Senin.Ia mengakui ada korelasi antara pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Namun, korelasi itu semakin lama semakin menurun karena berubahnya kondisi dan karakteristik pengangguran di Indonesia.
Presiden mengingatkan jajaran-nya untuk tidak terpaku pada angka-angka dalam indikator ekonomi makro dalam melihat hasil pembangunan ekonomi. Di sisi lain, parlemen dan pemerintah menyepakati asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010, salah satunya menaikkan target pertumbuhan menjadi 5,8 persen dari 5,5 persen pada APBN 2010.Salah satu asumsi yang digunakan adalah penciptaan sekitar 400 ribu lapangan kerja baru dari setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Menurut Latif, kemampuan menciptakan lapangan kerja saat ini sudah berkurang dari era orde Baru yang bisa mencapai 600 ribu. llo/did/RP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar