Rabu, 22 September 2010

KORUPSI

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia.

Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld government yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.

Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian kuantitas.

ARAH

Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.

Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.

Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

DISORIENTASI

Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.

Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.

Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.

Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada.Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.

Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).

Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.

Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.

Sepakbola, Emosi, dan Kerusuhan

Mungkin cuma di Indonesia penonton bisa terjun langsung menggapluk wasit dan hakim garis. Saking sudah sedemikian mendarah daging, sampai-sampai Yvgeny Khamaruc mencekik Cristian Gonzales dan Serghei Dubrovin memburu asisten wasit. Memang bukan hal baru karena (hampir) setiap pertandingan selalu berakhir rusuh. Soal official saling gebuk juga bukan hal baru. Sekitar dua tahun lalu, pertandingan antara Persigo dan Persiwa juga diwarnai official saling berantem. Mestinya hak siar sepakbola di Indonesia naik harganya karena tayangan 90 menit masih ditambah bonus rusuh 2-3 jam sesudahnya.
Bola memang sering membuat penggemarnya bertindak agresif dan irasional. Daniel Rees dan Kevin Schnepel yang meneliti pertandingan (american) football antar college di Amerika (NCAA) menemukan kerusuhan meningkat 9%, vandalisme naik 18%, dan penangkapan pengemudi yang mabuk sebesar 13% setiap terjadi pertandingan. Kalau tuan rumah mengalami kekalahan dalam pertandingan penting, vandalisme naik 61% dan kerusuhan naik jadi 112%. Jika pertandingan dilangsungkan pada hari Sabtu, angka-angka tersebut naik 0,5%.
Menurut Rees dan Schnepel, kerusuhan tersebut terjadi karena frustasi penggemar yang merasa tim kesayangannya “berhak” mendapat hasil yang lebih baik. Rasa frustasi itulah yang mendorong mereka berbuat rusuh. Dalam kasus tertentu, tim pemenang pun juga bisa membuat rusuh—-misalnya ketika tim peringkat bawah secara mengejutkan mengalahkan tim peringkat atas. Di Morgantown, West Virginia, atau di seputaran University of Connecticut hampir selalu terjadi pengrusakan walaupun tim tuan rumah menang.
Penelitian lain yang dilakukan White, Garland, Janet Katz, dan Kathryn Scarborough pada tahun 1988-1989 menemukan bahwa setiap kali Washington Redskins bermain dan menang, instalasi gawat darurat dua rumah sakit di Virginia Utara selalu kebanjiran pasien yang semuanya perempuan. Football memang begitu populer di Amerika—-seperti halnya sepakbola (soccer) di Indonesia. Tahun 1998 misalnya, hanya ditonton oleh 37,4 juta penggemar, tapi pada tahun 2006 sudah hampir 50 juta penggemar.
Faktor lain yang juga turut menyumbang kerusuhan adalah alkohol, karena jamak dilakukan menonton pertandingan olahraga sambil mabuk. Namun selain itu, Profesor Dahl dan Stefano DellaVigna dari University of California, Berkeley, menyatakan bahwa kerusuhan juga timbul karena pengaruh film penuh yang kekerasan. Di Amerika, sekitar seribu film ditayangkan tiap minggunya—-di mana yang digemari adalah yang penuh kekerasan, seperti Crank, Lucky Number Slevin, Kill Bill, dan sebagainya.
Di luar negeri, sepakbola (soccer), football, atau pertandingan lain yang berujung rusuh memang beberapa kali terjadi, namun biasanya dilakukan di luar lapangan. Dengan demikian, pertandingan tidak terhenti dan fasilitas dalam stadion relatif tidak menjadi korban. Namun yang menarik, masih menurut Rees dan Schnepel, penambahan jumlah polisi ternyata tidak menyelesaikan masalah—-terkadang malah bisa memicu kerusuhan yang lebih besar.
Dalam paper yang lain, Daniel Wann menjelaskan adanya “social learning theory” yaitu ketika seorang penggemar melihat pemain favoritnya melakukan penyerangan pada lawan mainnya, akan memberikan efek provokasi balik terhadap penggemar untuk ikut menyerang pendukung tim lawan. Mungkin sudah saatnya pemain sepakbola di Indonesia tak cuma dilatih soal fisik, tetapi juga soal menahan emosi, menghargai lawan main, dan terutama menghormati keputusan wasit.
Tentu saja hal ini mustahil dilakukan bila organisasi induknya masih dijalankan oleh orang-orang yang hanya mengurusi uang dan tak bisa mengagungkan sportivitas sepakbola.

Penggangguran

Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

[sunting] Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment

Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerna penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.

[sunting] Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment

Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.

[sunting] Pengangguran Siklikal

Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

Prospek Penyakit Menular Seksual Di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Era Globalisasi

Dunia saat ini berada dalam era globalisasi dan paling tidak apa yang terjadi di negara-negara maju akan mewarnai kehidupan generasi muda kita, termasuk budaya seks bebas yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) Dengan meningkatnya arus turis yang datang ke Indonesia tidak mustahil diikuti pula dengan meningkatnya kegiatan pelayanan seks yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Sekksual. Ditinjau dari segi kesehatan terdapat hal yang perlu memndapat perhatian khusus yakni diantara wisatawan yang datang ke Indonesia kemungkinan merupakan pejamu dari beberapa penyakit, khususnya Penyakit Menular Seksual.


Upaya pemberantasan PMS di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1951 dan pada waktu itu lebih dititik beratkan pada sifilis dan gonore. Yang termasuk dalam kelompok PMS adalah : The Old veneral diseases yakni gonore, sifilis, ulkus mole, limfogranuloma dan granuloma inguinale.


Penyakit lain yang ditularkan melalui hubungan seksual yakni uretritis non spesifik, herpes non genitales, kondiloma akuminata, trikomoniasis, kandidosis vaginalis, vaginalis non spesifik, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis pubis dan AID.


Pada Orasi Ilmiah ini sesuai dengan judulnya dikemukakan beberapa PMS, penyebab-penyebab terjadinya PMS, perkembangannya, dan bagaimana cara pencegahan serta penanggulangannya adalah : Sifilis, gonore, uretritis non spesifik, herpes genitalis, AIDS dan hepatitis B karena dipandang persoalannya dimasa mendatang akan sangat menonjol.(Jt)
Deskripsi Alternatif :

Dunia saat ini berada dalam era globalisasi dan paling tidak apa yang terjadi di negara-negara maju akan mewarnai kehidupan generasi muda kita, termasuk budaya seks bebas yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) Dengan meningkatnya arus turis yang datang ke Indonesia tidak mustahil diikuti pula dengan meningkatnya kegiatan pelayanan seks yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Sekksual. Ditinjau dari segi kesehatan terdapat hal yang perlu memndapat perhatian khusus yakni diantara wisatawan yang datang ke Indonesia kemungkinan merupakan pejamu dari beberapa penyakit, khususnya Penyakit Menular Seksual.


Upaya pemberantasan PMS di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1951 dan pada waktu itu lebih dititik beratkan pada sifilis dan gonore. Yang termasuk dalam kelompok PMS adalah : The Old veneral diseases yakni gonore, sifilis, ulkus mole, limfogranuloma dan granuloma inguinale.


Penyakit lain yang ditularkan melalui hubungan seksual yakni uretritis non spesifik, herpes non genitales, kondiloma akuminata, trikomoniasis, kandidosis vaginalis, vaginalis non spesifik, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis pubis dan AID.


Pada Orasi Ilmiah ini sesuai dengan judulnya dikemukakan beberapa PMS, penyebab-penyebab terjadinya PMS, perkembangannya, dan bagaimana cara pencegahan serta penanggulangannya adalah : Sifilis, gonore, uretritis non spesifik, herpes genitalis, AIDS dan hepatitis B karena dipandang persoalannya dimasa mendatang akan sangat menonjol.(Jt)

Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial
“Kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang berwayuh wajah. Ia dapat
didefinisikan dari berbagai sudut pandang (Suharto, 2007a; 2007b). Kesejahteraan
sosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidang
pembangunan sosial. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial biasanya merujuk pada
arena atau field of practice tempat berkiprah berbagai profesi kemanusiaan, termasuk
pekerja sosial, dokter, perawat, guru, psikolog, dan psikiater. Di negara-negara maju,
kesejahteraan sosial sangat identik dengan jaminan sosial (social security), seperti
public assistance dan social insurance, yang diselenggarakan negara terutama untuk
kaum yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Di Indonesia, kesejahteraan
sosial sering dipandang sebagai tujuan atau kondisi kehidupan yang sejahtera, yakni
terpenuhinya kebutuhan pokok manusia (Suharto, 2006a; 2006b).
Kesejahteraan sosial bisa dipandang sebagai ilmu atau disiplin akademis yang
mempelajari kebijakan sosial, pekerjaan sosial, dan program-program pelayanan sosial.
Seperti halnya sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik, studi pembangunan,
dan pekerjaan sosial, ilmu kesejahteraan sosial berupaya mengembangkan basis
pengetahuannya untuk mengidentifikasi masalah sosial, penyebabnya dan strategi
penanggulangannya. Pada masa awal perkembangannya, kesejahteraan sosial memiliki

Hapus Ketimpangan Sosial

Keberhasilan pembangunan tidak bisa hanya diukur dari membaiknya inidikator makroekonomi. Anatomi masyarakat dan fenomena sosial yang berkembang juga perlu diperhatikan.
GIANYAR - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah akan menyempurnakan dan memastikan bahwa kebijakan pro rakyat yang dirancang telah tepat sasaran.Kebijakan itu bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga lima tahun mendatang diharapkan tidak ada lagi ketimpangan sosial.
"WNI yang mengalami masalah sosial tentu menjadi amanah kita untuk menangani dengan baik. Oleh karena itu, jangan hanya melihat rakyat dari segi jumlah, dari segi income per kapita, pengangguran yang berkurang, kemiskinan berkurang. Kalau kita potret lebih tajam, ternyata ada kelompok yang mengalami persoalan (sosial) seperti itu," kata Presiden di hadapan peserta Rapat Kerja di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali, Senin (19/4).Rapat yang akan berlangsung hingga Rabu (21/4) itu dihadiri oleh seluruh menteri, gubernur, ketua DPRD, pemimpin BUMN, dan lembaga pemerintah.Yudhoyono mengharapkan seluruh pejabat negara, mulai dari presiden hingga abdi negara terdepan, yaitu lurah, menjalankan program pro rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai contoh fenomena sosial seperti anak-anak penderita autis. Di dunia, penderita autis mencapai 67 juta jiwa dan terus berkembang. "Indonesia juga ada ini (autisme), tidak bisa kita abaikan. Tidak cukup statistik kita meningkat tanpa melihat lebih gamblang anatomi masyarakat kita," kata Presiden.Kepala Negara meminta seluruh jajarannya tidak mengabaikan beragam masalah sosial yang berkembang di masyarakat. "Mari mu-lai hari ini kita tangani secara benar dan bertanggung jawab agar pembangunan kita berkeadilan," kata Presiden.
Terkait dengan hal itu. Presiden mengemukakan tiga arahan kepada seluruh jajarannya untuk dibahas dalam raker dan diimplementasikan dalam kebijakan. Pertama, menyelesaikan persoalan sosial dari hulu permasalahan. "Prakondisi yang eksis, kemiskinan absolut, keterbelakangan di beberapa kantong masyarakat, lingkungan yang jauh dari sehat," kata dia.Kedua, memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan, program keluarga berencana (KB), dan pengetahuan tentang gaya hidup yang benar. "Pastikan tiap rumah tangga mendapatkan materi pendidikan, bimbingan penyuluhan, agar mengubah gaya hidup dan kelalaian masyarakat seraya meningkatkan penghasilan," kata dia.
Ketiga, di sisi hilir atau pelak-sanaan program harus dilakukan langkah yang efektif. "Program pro rakyat dievaluasi sehingga menyentuh semua. Anggaran yang dikeluarkan harus pas dan tepat," kata Presiden.Sementara itu, pengamat ekonomi kemiskinan dari Universitas Indonesia , Sonny Harry Budiuto-mo Harmadi, ketika dihubungi, Senin, mengatakan untuk menekan laju kemiskinan dalam studi ekonomi, bisa dilakukan pendekatan kualitatif. Misalnya mengenalkan budaya modern pada masyarakat, mengenalkan budaya hidup sehat, dan mengenalkan tata cara pertanian yang baik. Hal itu, tambah dia, penekanannya lebih pada tata cara. Namun tetap saja tidak bisa mengabaikan realitas data sebagai bahan mentahnya.
Kemampuan Turun
Peneliti ekonomi senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, menilai kemampuan pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengurangi tingkat pengangguran telah menurun sehingga tidak bisa menjadi ukuran dalam menjamin keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan asumsi penciptaan lapangan kerja sebagai hasil dari indikator makro tersebut karena ke depan upaya pengurangan pengangguran semakin sulit.
"Ada fenomena di mana kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja kian menurun belakangan ini," kata dia, Senin.Ia mengakui ada korelasi antara pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Namun, korelasi itu semakin lama semakin menurun karena berubahnya kondisi dan karakteristik pengangguran di Indonesia.
Presiden mengingatkan jajaran-nya untuk tidak terpaku pada angka-angka dalam indikator ekonomi makro dalam melihat hasil pembangunan ekonomi. Di sisi lain, parlemen dan pemerintah menyepakati asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010, salah satunya menaikkan target pertumbuhan menjadi 5,8 persen dari 5,5 persen pada APBN 2010.Salah satu asumsi yang digunakan adalah penciptaan sekitar 400 ribu lapangan kerja baru dari setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Menurut Latif, kemampuan menciptakan lapangan kerja saat ini sudah berkurang dari era orde Baru yang bisa mencapai 600 ribu. llo/did/RP

Fakta Ketimpangan Sosial

Kita tidak harus menjadi professor agar tahu di Indonesia terjadi banyak ketimpangan sosial. Kemiskinan adalah fakta, dikriminasi seperti matahari yang setiap hari selalu ada. Film “Denias” yang mengisahkan tentang kondisi masyarakat Papua bertutur lugas bahwa ketimpangan sosial di Indonesia ini bukanlah takdir, tapi sengaja diciptakan. Kita semuapun tahu disaat krisis moneter 1997, mayoritas masyarakat Indonesia kesusahan, PHK massal terjadi serentak dimana-mana, tapi ada juga kalangan minoritas yang tidak tersentuh, bahkan mensyukuti krisis moneter tersebut.
Ketimpangan sosial adalah fakta, sedangkan solidaritas sosial dan budaya saling menolong semakin menjadi mitos di negeri ini. Hal ini tercermin dalam kebijakan pemerintah menaikkan harga harga minyak goreng. Siapapun yang menggunakan akal sehat pastilah akan heran. Indonesia dengan ribuan hektar kebun kelapa sawit, tapi masyarakatnya mengalami kelangkaan minyak goreng. Seperti kita heran dengan kebijakan impor beras, padahal tanah negeri ini sangat subur. Artinya, pastilah ada yang salah dengan cara mengurus negeri ini
Sebagai kebutuhan fudamen bagi masyarakat. Kenaikkan harga minyak sangat terasa sekali. Masyarakat bukannya tidak berusaha, berbagai macam siasat sudah dilakukan. Cerita tentang digantinya beras dengan jagung adalah kenyataan yang dicertitakan, bahkan ada yang makan nasi aking. Untuk mensiasati kelangkaan minyak goreng masyarakat menggunakan pasir sebagai penggantinya. Hal ini menjadi luar biasa karena ditengah tragedi ini sebagian kelompok masyarakat malah hidup serba berkelebihan. Inikah yang kita sebut dengan budaya timur yang terkenal dengan solidaritas?
Kondisi seperti ini tidak boleh ditutup-ditutupi lagi. Anak-anak sejak sekolah dasar tidak cukup diberikan pelajaran sejarah saja, tapi mereka juga harus diberikan pengetahuan tentang kondisi sosial Indonesia. Minimal mereka tahu bahwa di Indonesia ada kemiskinan, ada diskriminasi, korupsi, dll. Sehingga sejak kecil mereka sudah tahu bahwa musuh bersama adalah kemiskinan, bukan lagi perbedaan. Selama ini anak didik hanya diajarkan bahwa mereka berbeda dan disatulah oleh bhineka tunggal ika. Tapi kita lupa persatuan juga membutuhkan musuh bersama seperti kemiskinan, diskriminasi, dll.
Mengenai kemiskinan, kita sudah sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang dialami suatu kelompok masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak memberi kesempatan agar bisa terlibat dalam penggunaan sumber-sumber daya ekonomi atau modal lainnya. Bukti-bukti nyata dalam hal ini sudah banyak sekali. Sayangnya hal ini jarang sekali diberitakan secara massif. Televisipun lebih suka menampilkan sinetron yang bertolak belakang dengan realitas yang sesungguhnya.
Pemerintah juga terkesan tidak jujur. Hal ini tercermin dalam statement seperti “fundamen ekonomi kita sangat kuat”. Mahasiswa semester I saja bisa mengkritik, tidak mungkin ada ekonomi yang kuat diatas 45.7 juta orang miskin (BPS). Akan lebih arif jika semua ketimpangan sosial dibuka selebar-lebarnya, dibahas sesering mungkin. Karena keterbukaan akan kondisi sosial yang ada, akan semakin mendorong banyak pihak untuk terlibat menuntaskannya.
Sebab Perlahan masyarakat mulai masyarakat mulai sadar, bahwa bahwa yang menentukan kebijakan dibidang ekonomi pada hakikatnya adalah pasar, bukan pemerintah. Dalam berbagai aksi jalanan sudah terlalu sering diteriakkan tentang perselingkuhan Pemerintah dengan Pasar atau modal international. Kenaikkan harga BBM adalah karena pasar, demikian juga dengan minyak goreng. Sekarang tergantung kepada Pemerintah, apakah selamanya akan mengabdi untuk kepentingan Pasar?, atau kembali kepada amanat penderitaan rakyat (Ampera).