Selasa, 21 September 2010

Mental Pengemis

Beberapa orang anak kecil terlihat berjaga-jaga di sekitar parkiran mobil dan motor di halaman sebuah masjid. Ketika sang empunya kendaraan datang, mereka pun beraksi. "Parkir, Om." Sembari menengadahkan tangan berharap ada uang tanda terima kasih yang mereka terima. Kadang-kadang pemilik kendaraan jengkel, bahkan ada yang mencemooh. "Lho, di sini kan tidak pakai biaya parkir. Kalau ada yang hilang, mau tanggung jawab?"

Sering terlintas rasa iba kepada anak-anak kecil itu. Tetapi, kalau mental pengemis sudah bersarang di kepalanya, harus dicegah sedini mungkin. Bayangkan saja, orang yang memarkir kendaraan walau sebentar saja, diminta bayar parkiran. Padahal, jangankan tarif, bukti tanda parkir saja tidak ada. Masih kecil sudah mentalnya peminta-minta. Bagaimana kalau berlanjut sampai dewasa?

Hampir setiap hari, bila melintas di jalan raya perkotaan, kita akan melihat banyaknya pengemis di jalanan. Dari yang tua sampai yang bocah. Bahkan yang cacat pun tidak mau ketinggalan. Pemerintah setidaknya sudah melakukan langkah-langkah untuk memberantas para pengemis jalanan. Dirazia sampai kucing-kucingan dengan aparat pemerintah kota. Setelah ditangkap dan dibina, mereka dilepas untuk mencari pekerjaan yang lebih layak dan beradab. Tapi tak jarang yang sudah dibina kembali menjadi pengemis. Mungkin sudah mental pengemisnya warisan sejak lahir.

Wajib, ada langkah yang lebih konkret yang semestinya dilakukan oleh pemerintah. Dirazia, dibina, dan dilepas kembali sepertinya tidak menimbulkan efek jera. Ujung-ujungnya kembali ke jalanan. Mengemis harta orang. Bahkan yang paling miris, ada salah satu perkampungan mewah di salah satu kota di negeri ini (saya tonton di televisi) yang warganya berprofesi sebagai pengemis. Ada musimnya mereka ke kota menjadi pengemis, dan ada musimnya mereka pulang kampung. Ya.. mental pengemis, mental para pemalas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar