Rabu, 22 September 2010

KORUPSI

Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Pemberantasan Mafia Hukum oleh Presiden SBY merupakan langkah berani dan sekaligus menyiratkan pengakuan keberadaan organisasi mafia hukum dalam praktik sistem peradilan pidana selama 65 tahun kemerdekaan Indonesia.

Mafia hukum di Indonesia identik dengan the web of the underworld government yang memiliki kekuatan destruktif terhadap ketahanan negara dan kewibawaan pemerintah, termasuk lembaga penegak hukumnya. Pertaruhan nasionalisme dan keteguhan dalam pemberantasan mafia hukum sedang dalam ujian di mata masyarakat dalam negeri dan luar negeri. Namun, pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum bukanlah solusi yang tepat untuk mencegah dan mengatasi keberadaan mafia hukum.Yang tepat seharusnya memperkuat keberadaan KPK serta koordinasi dan sinkronisasi antara KPK,Polri,dan Kejaksaan.

Status hukum Satgas dan lembaga penegak hukum yang ada tidak sepadan sehingga tampak keberadaan satgas berada “di luar” sistem peradilan pidana. Misi Presiden untuk memberantas mafia sulit dapat dijalankan dengan status hukum Satgas seperti itu. Selain itu, Instruksi Presiden tentang target pencapaian dan indikator keberhasilan pemberantasan korupsi oleh Polri dan kejaksaan kurang tepat. Karena target pencapaian dan indikator keberhasilan tersebut sejatinya merupakan salah satu indikator penyediaan anggaran operasional kepolisian dan kejaksaan. Namun, dalam praktik, parameter (tolok ukur) keberhasilan tersebut dijadikan alasan Polri dan kejaksaan untuk tujuan pencapaian kuantitas daripada pencapaian kualitas penanganan perkara korupsi.Tujuan pencapaian terakhir conditio sine qua non dari tujuan pencapaian kuantitas.

ARAH

Saat ini, arah, tujuan dan misi penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi tidak jelas lagi. Hanya pertimbangan dua tujuan yang tidak seimbang juga karena pengembalian kerugian (keuangan) negara tidak berhasil secara signifikan dibandingkan dengan anggaran APBN yang telah dikeluarkan untuk ketiga lembaga penegak hukum tersebut. Di sisi lain,tujuan penghukuman untuk menjerakan pelaku juga tidak maksimal dicapai karena selain diskresi perlakuan yang diperbolehkan Undang-Undang Pemasyarakatan, juga diskresi menurut KUHAP sejak penyidikan sampai penuntutan. Ini berekses diskriminatif terutama bagi pelaku yang tidak memiliki kekuatan politik dan kekuatan uang.

Contoh, pemberian remisi dan bebas bersyarat; SP 3 dan SKPP. Perbedaan perlakuan tersebut telah berdampak negatif terhadap masalah perlindungan hukum dan kepastian hukum baik untuk kepentingan negara maupun untuk kepentingan mereka yang disebut “koruptor”. Wacana kebencian terhadap koruptor akhir-akhir ini telah menyimpang jauh dari norma-norma internasional yang diakui dalam pemberantasan korupsi seperti Konvensi PBB Anti-Korupsi Tahun 2003 karena konvensi tersebut tidak menghubungkan pemberantasan korupsi dengan agama.Wacana tidak menyalatkan jenazah koruptor merupakan contoh daripada hal tersebut dan tidak pernah muncul di negara-negara Islam sekalipun.

Kekeliruan pandangan mengenai kepantasan hukuman mati bagi koruptor terletak bukan hanya karena hak hidup manusia adalah milik Allah SWT,melainkan bagaimana hak hidup seseorang dicabut di dalam praktik penegakan hukum yang kini terjadi secara koruptif. Dalam kondisi ini,perlu diingat pendapat para ahli hukum pidana negara maju, ”Lebih baik melepaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”Kebenaran materiil dalam praktik koruptif penegakan hukum sangat tergantung dari pemilik kekuasaan belaka, bukan pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku dan berdasarkan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.

DISORIENTASI

Saat ini praktik penegakan hukum sedang mengalami disorientasi kinerja dari amanah yang diperintahkan di dalam UUD 1945 dan perubahannya. Disorientasi pertama, polisi, jaksa dan hakim saat ini tampak kehilangan jati diri karena keberadaan lembaga pengawas eksternal seperti Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian. Selain belum efektif juga tampak ada keinginan kuat untuk memasuki terlalu jauh pekerjaan lembaga penegak hukum tersebut yang bertentangan dengan UU.

Kekuatan kritik sosial dan pers bebas sering menimbulkan kegamangan penegak hukum dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya secara benar menurut UU yang berlaku. Disorientasi kedua, tidak jelas lagi batas-batas sistem pengendalian internal dan eksternal dalam penegakan hukum. Yang terjadi “kontrol internal” dilakukan oleh masyarakat sipil, seharusnya oleh lembaga pengawas internal (irjen dll); dan “kontrol eksternal” dilakukan oleh “orang dalam” lembaga penegak hukum itu sendiri.Di sini tidak jelas lagi siapa mengawasi siapa.

Lebih tidak jelas lagi kepada siapa semua fungsi kontrol tersebut harus dipertanggungjawabkan, kepada DPR RI sebagai lembaga pengawas kinerja pemerintah (eksekutif) atau kepada rakyat Indonesia, atau masyarakat sipil di mana saja dan kapan saja dikehendaki rakyat Indonesia itu atau hanya kepada seorang presiden saja. Disorientasi ketiga,kepakaran yang “dimonopoli” oleh kalangan akademisi dalam menyikapi masalah penegakan hukum.Yang terjadi saat ini telah tumbuh berkembang, tidak jelas lagi bedanya antara seorang “pekerja intelek” dan seorang “intelektual”.

Hal ini sebagaimana pernah dilontarkan oleh Widjojo Nitisastro yang mengutip pendapat Baran. Widjojo menerangkan bahwa, seorang “pekerja intelek”,dia cuma “jual otaknya” dan tidak peduli untuk apa hasil otaknya itu dipakai”; sebaliknya, seorang “intelektual” mempunyai sikap jiwa yang berlainan: pada asasnya seorang intelektual adalah seorang pengkritik masyarakat... dia menjadi “hati nurani masyarakat” dan juru bicara kekuatan progresif; mau tidak mau dia dianggap “pengacau”dan menjengkelkan oleh kelas yang berkuasa yang mencoba mempertahankan yang ada.Pernyataan Widjojo cocok di era Reformasi saat ini. Disorientasi keempat, penegakan hukum saat ini khususnya yang berkaitan dengan pelaku ekonomi tidak mendukung/memperkuat sistem ekonomi nasional melainkan bahkan “meruntuhkan” efisiensi dan efektivitas serta produktivitas para pelaku ekonomi.

Bahkan menjauhkan investasi domestik dan asing untuk memperkuat ekonomi nasional.Ada banyak sebab dan di antaranya adalah ekses negatif “pemerasan”dan “pemaksaan”yang mendatangkan keuntungan finansial oleh oknum penegak hukum lebih besar ketimbang proses peradilan yang berjalan jujur,adil dan bermanfaat bagi bangsa dan negara. Penyebab yang pasti dari kondisi ini adalah ideologi globalisasi telah mendorong kehidupan bangsa yang bersifat hedonistis mempertuhankan kebendaan belaka; jauh dari kesejahteraan batiniah bagi masyarakatnya.Pola kehidupan sosial budaya dan ekonomi sesaat telah “menjerumuskan” anak bangsa ini ke dalam kehidupan yang digambarkan oleh Hobbes, “manusia itu seperti serigala terhadap sesamanya” (homo homini lupus bellum omnium contra omnes).

Pernyataan Hobbes ini kini berlaku dalam praktik penegakan hukum. Disorientasi kelima, terdapat kekeliruan mendasar mengenai hukuman yang dipandang sebagai satu-satunya alat untuk penjeraan dan pertobatan bahkan jika perlu hukuman mati. Tujuan pembentukan hukum dan penegakan hukum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014, tidak mendahulukan tujuan balas dendam melainkan mendahulukan tujuan perkuatan pembangunan ekonomi nasional. RPJM tersebut juga tidak terkandung maksud menciptakan golongan baru, “koruptor”, dalam masyarakat Indonesia.

Satu-satunya kekuasaan yang sah menjatuhkan hukuman adalah pengadilan. Menjalani hukuman dalam penjara adalah wahana penebusan dosa. Seketika yang bersangkutan selesai menjalani hukumannya, seharusnya dosa-dosanya terampuni .Tidak ada hak negara atau siapa pun untuk “memperpanjang” penderitaan seseorang melebihi batas hukuman yang telah dijatuhkan oleh putusan pengadilan.

Sepakbola, Emosi, dan Kerusuhan

Mungkin cuma di Indonesia penonton bisa terjun langsung menggapluk wasit dan hakim garis. Saking sudah sedemikian mendarah daging, sampai-sampai Yvgeny Khamaruc mencekik Cristian Gonzales dan Serghei Dubrovin memburu asisten wasit. Memang bukan hal baru karena (hampir) setiap pertandingan selalu berakhir rusuh. Soal official saling gebuk juga bukan hal baru. Sekitar dua tahun lalu, pertandingan antara Persigo dan Persiwa juga diwarnai official saling berantem. Mestinya hak siar sepakbola di Indonesia naik harganya karena tayangan 90 menit masih ditambah bonus rusuh 2-3 jam sesudahnya.
Bola memang sering membuat penggemarnya bertindak agresif dan irasional. Daniel Rees dan Kevin Schnepel yang meneliti pertandingan (american) football antar college di Amerika (NCAA) menemukan kerusuhan meningkat 9%, vandalisme naik 18%, dan penangkapan pengemudi yang mabuk sebesar 13% setiap terjadi pertandingan. Kalau tuan rumah mengalami kekalahan dalam pertandingan penting, vandalisme naik 61% dan kerusuhan naik jadi 112%. Jika pertandingan dilangsungkan pada hari Sabtu, angka-angka tersebut naik 0,5%.
Menurut Rees dan Schnepel, kerusuhan tersebut terjadi karena frustasi penggemar yang merasa tim kesayangannya “berhak” mendapat hasil yang lebih baik. Rasa frustasi itulah yang mendorong mereka berbuat rusuh. Dalam kasus tertentu, tim pemenang pun juga bisa membuat rusuh—-misalnya ketika tim peringkat bawah secara mengejutkan mengalahkan tim peringkat atas. Di Morgantown, West Virginia, atau di seputaran University of Connecticut hampir selalu terjadi pengrusakan walaupun tim tuan rumah menang.
Penelitian lain yang dilakukan White, Garland, Janet Katz, dan Kathryn Scarborough pada tahun 1988-1989 menemukan bahwa setiap kali Washington Redskins bermain dan menang, instalasi gawat darurat dua rumah sakit di Virginia Utara selalu kebanjiran pasien yang semuanya perempuan. Football memang begitu populer di Amerika—-seperti halnya sepakbola (soccer) di Indonesia. Tahun 1998 misalnya, hanya ditonton oleh 37,4 juta penggemar, tapi pada tahun 2006 sudah hampir 50 juta penggemar.
Faktor lain yang juga turut menyumbang kerusuhan adalah alkohol, karena jamak dilakukan menonton pertandingan olahraga sambil mabuk. Namun selain itu, Profesor Dahl dan Stefano DellaVigna dari University of California, Berkeley, menyatakan bahwa kerusuhan juga timbul karena pengaruh film penuh yang kekerasan. Di Amerika, sekitar seribu film ditayangkan tiap minggunya—-di mana yang digemari adalah yang penuh kekerasan, seperti Crank, Lucky Number Slevin, Kill Bill, dan sebagainya.
Di luar negeri, sepakbola (soccer), football, atau pertandingan lain yang berujung rusuh memang beberapa kali terjadi, namun biasanya dilakukan di luar lapangan. Dengan demikian, pertandingan tidak terhenti dan fasilitas dalam stadion relatif tidak menjadi korban. Namun yang menarik, masih menurut Rees dan Schnepel, penambahan jumlah polisi ternyata tidak menyelesaikan masalah—-terkadang malah bisa memicu kerusuhan yang lebih besar.
Dalam paper yang lain, Daniel Wann menjelaskan adanya “social learning theory” yaitu ketika seorang penggemar melihat pemain favoritnya melakukan penyerangan pada lawan mainnya, akan memberikan efek provokasi balik terhadap penggemar untuk ikut menyerang pendukung tim lawan. Mungkin sudah saatnya pemain sepakbola di Indonesia tak cuma dilatih soal fisik, tetapi juga soal menahan emosi, menghargai lawan main, dan terutama menghormati keputusan wasit.
Tentu saja hal ini mustahil dilakukan bila organisasi induknya masih dijalankan oleh orang-orang yang hanya mengurusi uang dan tak bisa mengagungkan sportivitas sepakbola.

Penggangguran

Pengangguran atau tuna karya adalah istilah untuk orang yang tidak bekerja sama sekali, sedang mencari kerja, bekerja kurang dari dua hari selama seminggu, atau seseorang yang sedang berusaha mendapatkan pekerjaan yang layak. Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja atau para pencari kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang ada yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen. Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya. Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

[sunting] Pengangguran Friksional / Frictional Unemployment

Pengangguran friksional adalah pengangguran yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran pekerna penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari sebelumnya.

[sunting] Pengangguran Musiman / Seasonal Unemployment

Pengangguran musiman adalah keadaan menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya seperti petani yang menanti musim tanam, tukan jualan duren yang menanti musim durian.

[sunting] Pengangguran Siklikal

Pengangguran siklikal adalah pengangguran yang menganggur akibat imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih rendah daripada penawaran kerja.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya. Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya.
Tingkat pengangguran dapat dihitung dengan cara membandingkan jumlah pengangguran dengan jumlah angkatan kerja yang dinyatakan dalam persen.
Ketiadaan pendapatan menyebabkan penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan keluarganya.
Tingkat pengangguran yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan kekacauan politik, keamanan dan sosial sehingga mengganggu pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Akibat jangka panjang adalah menurunnya GNP dan pendapatan per kapita suatu negara.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, dikenal istilah "pengangguran terselubung" di mana pekerjaan yang semestinya bisa dilakukan dengan tenaga kerja sedikit, dilakukan oleh lebih banyak orang.

Prospek Penyakit Menular Seksual Di Indonesia Dalam Kaitannya Dengan Era Globalisasi

Dunia saat ini berada dalam era globalisasi dan paling tidak apa yang terjadi di negara-negara maju akan mewarnai kehidupan generasi muda kita, termasuk budaya seks bebas yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) Dengan meningkatnya arus turis yang datang ke Indonesia tidak mustahil diikuti pula dengan meningkatnya kegiatan pelayanan seks yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Sekksual. Ditinjau dari segi kesehatan terdapat hal yang perlu memndapat perhatian khusus yakni diantara wisatawan yang datang ke Indonesia kemungkinan merupakan pejamu dari beberapa penyakit, khususnya Penyakit Menular Seksual.


Upaya pemberantasan PMS di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1951 dan pada waktu itu lebih dititik beratkan pada sifilis dan gonore. Yang termasuk dalam kelompok PMS adalah : The Old veneral diseases yakni gonore, sifilis, ulkus mole, limfogranuloma dan granuloma inguinale.


Penyakit lain yang ditularkan melalui hubungan seksual yakni uretritis non spesifik, herpes non genitales, kondiloma akuminata, trikomoniasis, kandidosis vaginalis, vaginalis non spesifik, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis pubis dan AID.


Pada Orasi Ilmiah ini sesuai dengan judulnya dikemukakan beberapa PMS, penyebab-penyebab terjadinya PMS, perkembangannya, dan bagaimana cara pencegahan serta penanggulangannya adalah : Sifilis, gonore, uretritis non spesifik, herpes genitalis, AIDS dan hepatitis B karena dipandang persoalannya dimasa mendatang akan sangat menonjol.(Jt)
Deskripsi Alternatif :

Dunia saat ini berada dalam era globalisasi dan paling tidak apa yang terjadi di negara-negara maju akan mewarnai kehidupan generasi muda kita, termasuk budaya seks bebas yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Seksual (PMS) Dengan meningkatnya arus turis yang datang ke Indonesia tidak mustahil diikuti pula dengan meningkatnya kegiatan pelayanan seks yang pada akhirnya akan meningkatkan angka kejadian Penyakit Menular Sekksual. Ditinjau dari segi kesehatan terdapat hal yang perlu memndapat perhatian khusus yakni diantara wisatawan yang datang ke Indonesia kemungkinan merupakan pejamu dari beberapa penyakit, khususnya Penyakit Menular Seksual.


Upaya pemberantasan PMS di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1951 dan pada waktu itu lebih dititik beratkan pada sifilis dan gonore. Yang termasuk dalam kelompok PMS adalah : The Old veneral diseases yakni gonore, sifilis, ulkus mole, limfogranuloma dan granuloma inguinale.


Penyakit lain yang ditularkan melalui hubungan seksual yakni uretritis non spesifik, herpes non genitales, kondiloma akuminata, trikomoniasis, kandidosis vaginalis, vaginalis non spesifik, moluskum kontagiosum, skabies, pedikulosis pubis dan AID.


Pada Orasi Ilmiah ini sesuai dengan judulnya dikemukakan beberapa PMS, penyebab-penyebab terjadinya PMS, perkembangannya, dan bagaimana cara pencegahan serta penanggulangannya adalah : Sifilis, gonore, uretritis non spesifik, herpes genitalis, AIDS dan hepatitis B karena dipandang persoalannya dimasa mendatang akan sangat menonjol.(Jt)

Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial
“Kesejahteraan sosial” (social welfare) memiliki arti yang berwayuh wajah. Ia dapat
didefinisikan dari berbagai sudut pandang (Suharto, 2007a; 2007b). Kesejahteraan
sosial dapat diartikan sebagai pendekatan atau kegiatan yang terorganisir dalam bidang
pembangunan sosial. Dalam konteks ini, kesejahteraan sosial biasanya merujuk pada
arena atau field of practice tempat berkiprah berbagai profesi kemanusiaan, termasuk
pekerja sosial, dokter, perawat, guru, psikolog, dan psikiater. Di negara-negara maju,
kesejahteraan sosial sangat identik dengan jaminan sosial (social security), seperti
public assistance dan social insurance, yang diselenggarakan negara terutama untuk
kaum yang kurang beruntung (disadvantaged groups). Di Indonesia, kesejahteraan
sosial sering dipandang sebagai tujuan atau kondisi kehidupan yang sejahtera, yakni
terpenuhinya kebutuhan pokok manusia (Suharto, 2006a; 2006b).
Kesejahteraan sosial bisa dipandang sebagai ilmu atau disiplin akademis yang
mempelajari kebijakan sosial, pekerjaan sosial, dan program-program pelayanan sosial.
Seperti halnya sosiologi, psikologi, antropologi, ekonomi, politik, studi pembangunan,
dan pekerjaan sosial, ilmu kesejahteraan sosial berupaya mengembangkan basis
pengetahuannya untuk mengidentifikasi masalah sosial, penyebabnya dan strategi
penanggulangannya. Pada masa awal perkembangannya, kesejahteraan sosial memiliki

Hapus Ketimpangan Sosial

Keberhasilan pembangunan tidak bisa hanya diukur dari membaiknya inidikator makroekonomi. Anatomi masyarakat dan fenomena sosial yang berkembang juga perlu diperhatikan.
GIANYAR - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan pemerintah akan menyempurnakan dan memastikan bahwa kebijakan pro rakyat yang dirancang telah tepat sasaran.Kebijakan itu bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga lima tahun mendatang diharapkan tidak ada lagi ketimpangan sosial.
"WNI yang mengalami masalah sosial tentu menjadi amanah kita untuk menangani dengan baik. Oleh karena itu, jangan hanya melihat rakyat dari segi jumlah, dari segi income per kapita, pengangguran yang berkurang, kemiskinan berkurang. Kalau kita potret lebih tajam, ternyata ada kelompok yang mengalami persoalan (sosial) seperti itu," kata Presiden di hadapan peserta Rapat Kerja di Istana Tampaksiring, Gianyar, Bali, Senin (19/4).Rapat yang akan berlangsung hingga Rabu (21/4) itu dihadiri oleh seluruh menteri, gubernur, ketua DPRD, pemimpin BUMN, dan lembaga pemerintah.Yudhoyono mengharapkan seluruh pejabat negara, mulai dari presiden hingga abdi negara terdepan, yaitu lurah, menjalankan program pro rakyat dengan penuh tanggung jawab.
Sebagai contoh fenomena sosial seperti anak-anak penderita autis. Di dunia, penderita autis mencapai 67 juta jiwa dan terus berkembang. "Indonesia juga ada ini (autisme), tidak bisa kita abaikan. Tidak cukup statistik kita meningkat tanpa melihat lebih gamblang anatomi masyarakat kita," kata Presiden.Kepala Negara meminta seluruh jajarannya tidak mengabaikan beragam masalah sosial yang berkembang di masyarakat. "Mari mu-lai hari ini kita tangani secara benar dan bertanggung jawab agar pembangunan kita berkeadilan," kata Presiden.
Terkait dengan hal itu. Presiden mengemukakan tiga arahan kepada seluruh jajarannya untuk dibahas dalam raker dan diimplementasikan dalam kebijakan. Pertama, menyelesaikan persoalan sosial dari hulu permasalahan. "Prakondisi yang eksis, kemiskinan absolut, keterbelakangan di beberapa kantong masyarakat, lingkungan yang jauh dari sehat," kata dia.Kedua, memperbaiki kualitas pendidikan, kesehatan, program keluarga berencana (KB), dan pengetahuan tentang gaya hidup yang benar. "Pastikan tiap rumah tangga mendapatkan materi pendidikan, bimbingan penyuluhan, agar mengubah gaya hidup dan kelalaian masyarakat seraya meningkatkan penghasilan," kata dia.
Ketiga, di sisi hilir atau pelak-sanaan program harus dilakukan langkah yang efektif. "Program pro rakyat dievaluasi sehingga menyentuh semua. Anggaran yang dikeluarkan harus pas dan tepat," kata Presiden.Sementara itu, pengamat ekonomi kemiskinan dari Universitas Indonesia , Sonny Harry Budiuto-mo Harmadi, ketika dihubungi, Senin, mengatakan untuk menekan laju kemiskinan dalam studi ekonomi, bisa dilakukan pendekatan kualitatif. Misalnya mengenalkan budaya modern pada masyarakat, mengenalkan budaya hidup sehat, dan mengenalkan tata cara pertanian yang baik. Hal itu, tambah dia, penekanannya lebih pada tata cara. Namun tetap saja tidak bisa mengabaikan realitas data sebagai bahan mentahnya.
Kemampuan Turun
Peneliti ekonomi senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Latif Adam, menilai kemampuan pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengurangi tingkat pengangguran telah menurun sehingga tidak bisa menjadi ukuran dalam menjamin keberhasilan pembangunan. Oleh karena itu, pemerintah harus berhati-hati dalam menetapkan asumsi penciptaan lapangan kerja sebagai hasil dari indikator makro tersebut karena ke depan upaya pengurangan pengangguran semakin sulit.
"Ada fenomena di mana kemampuan pertumbuhan ekonomi dalam menciptakan lapangan kerja kian menurun belakangan ini," kata dia, Senin.Ia mengakui ada korelasi antara pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja. Namun, korelasi itu semakin lama semakin menurun karena berubahnya kondisi dan karakteristik pengangguran di Indonesia.
Presiden mengingatkan jajaran-nya untuk tidak terpaku pada angka-angka dalam indikator ekonomi makro dalam melihat hasil pembangunan ekonomi. Di sisi lain, parlemen dan pemerintah menyepakati asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010, salah satunya menaikkan target pertumbuhan menjadi 5,8 persen dari 5,5 persen pada APBN 2010.Salah satu asumsi yang digunakan adalah penciptaan sekitar 400 ribu lapangan kerja baru dari setiap satu persen pertumbuhan ekonomi. Menurut Latif, kemampuan menciptakan lapangan kerja saat ini sudah berkurang dari era orde Baru yang bisa mencapai 600 ribu. llo/did/RP

Fakta Ketimpangan Sosial

Kita tidak harus menjadi professor agar tahu di Indonesia terjadi banyak ketimpangan sosial. Kemiskinan adalah fakta, dikriminasi seperti matahari yang setiap hari selalu ada. Film “Denias” yang mengisahkan tentang kondisi masyarakat Papua bertutur lugas bahwa ketimpangan sosial di Indonesia ini bukanlah takdir, tapi sengaja diciptakan. Kita semuapun tahu disaat krisis moneter 1997, mayoritas masyarakat Indonesia kesusahan, PHK massal terjadi serentak dimana-mana, tapi ada juga kalangan minoritas yang tidak tersentuh, bahkan mensyukuti krisis moneter tersebut.
Ketimpangan sosial adalah fakta, sedangkan solidaritas sosial dan budaya saling menolong semakin menjadi mitos di negeri ini. Hal ini tercermin dalam kebijakan pemerintah menaikkan harga harga minyak goreng. Siapapun yang menggunakan akal sehat pastilah akan heran. Indonesia dengan ribuan hektar kebun kelapa sawit, tapi masyarakatnya mengalami kelangkaan minyak goreng. Seperti kita heran dengan kebijakan impor beras, padahal tanah negeri ini sangat subur. Artinya, pastilah ada yang salah dengan cara mengurus negeri ini
Sebagai kebutuhan fudamen bagi masyarakat. Kenaikkan harga minyak sangat terasa sekali. Masyarakat bukannya tidak berusaha, berbagai macam siasat sudah dilakukan. Cerita tentang digantinya beras dengan jagung adalah kenyataan yang dicertitakan, bahkan ada yang makan nasi aking. Untuk mensiasati kelangkaan minyak goreng masyarakat menggunakan pasir sebagai penggantinya. Hal ini menjadi luar biasa karena ditengah tragedi ini sebagian kelompok masyarakat malah hidup serba berkelebihan. Inikah yang kita sebut dengan budaya timur yang terkenal dengan solidaritas?
Kondisi seperti ini tidak boleh ditutup-ditutupi lagi. Anak-anak sejak sekolah dasar tidak cukup diberikan pelajaran sejarah saja, tapi mereka juga harus diberikan pengetahuan tentang kondisi sosial Indonesia. Minimal mereka tahu bahwa di Indonesia ada kemiskinan, ada diskriminasi, korupsi, dll. Sehingga sejak kecil mereka sudah tahu bahwa musuh bersama adalah kemiskinan, bukan lagi perbedaan. Selama ini anak didik hanya diajarkan bahwa mereka berbeda dan disatulah oleh bhineka tunggal ika. Tapi kita lupa persatuan juga membutuhkan musuh bersama seperti kemiskinan, diskriminasi, dll.
Mengenai kemiskinan, kita sudah sering mendengar istilah kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang dialami suatu kelompok masyarakat karena struktur sosial masyarakat tidak memberi kesempatan agar bisa terlibat dalam penggunaan sumber-sumber daya ekonomi atau modal lainnya. Bukti-bukti nyata dalam hal ini sudah banyak sekali. Sayangnya hal ini jarang sekali diberitakan secara massif. Televisipun lebih suka menampilkan sinetron yang bertolak belakang dengan realitas yang sesungguhnya.
Pemerintah juga terkesan tidak jujur. Hal ini tercermin dalam statement seperti “fundamen ekonomi kita sangat kuat”. Mahasiswa semester I saja bisa mengkritik, tidak mungkin ada ekonomi yang kuat diatas 45.7 juta orang miskin (BPS). Akan lebih arif jika semua ketimpangan sosial dibuka selebar-lebarnya, dibahas sesering mungkin. Karena keterbukaan akan kondisi sosial yang ada, akan semakin mendorong banyak pihak untuk terlibat menuntaskannya.
Sebab Perlahan masyarakat mulai masyarakat mulai sadar, bahwa bahwa yang menentukan kebijakan dibidang ekonomi pada hakikatnya adalah pasar, bukan pemerintah. Dalam berbagai aksi jalanan sudah terlalu sering diteriakkan tentang perselingkuhan Pemerintah dengan Pasar atau modal international. Kenaikkan harga BBM adalah karena pasar, demikian juga dengan minyak goreng. Sekarang tergantung kepada Pemerintah, apakah selamanya akan mengabdi untuk kepentingan Pasar?, atau kembali kepada amanat penderitaan rakyat (Ampera).

MASALAH SOSIAL SEBAGAI INSPIRASI PERUBAHAN

Pada mulanya alkohol ataupun narkoba lebih berkaitan dengan fisik, maka efek batu akan timbul dalam batas-batas kewajaran tidak akan menimbulkan dampak negative. Dalam tingkat seperti ini alkohol dan narkoba hanya bersifat sebagai jenis minuman biasa, pendorong pencernaan, pendorong cepet tidur, penghangat tubuh, dan sebagainya. Namun dalam perkembangan lebih lanjut, bentuk dan fungsinya tidak sekedar sarana relaksasi terhadap kelelahan, tekanan batin, rasa apatis, perasaan terisolasi, menjadi berfungsi sebagai sarana ritual dalam mengembangkan solidaritas dan pengakraban pergaulan. Hanya saja, dalam proses selanjutnya banyak di temukan pemakaian yang berlebihan dan tidak wajar dan sudah menyimpang dari fungsi sebenarnya, juga berakibat negatif baik secara fisik maupun sosial. Di sisi lain di anggap sebagai kunci kegairahan dan kemuliaan, sedangkan dipihak lain dianggap sebagai pemacu kesesatan moral kemanusiaan dan penyebab utama penyakit sosial. Narkotika dan obat terlarang serta zat adiktif / psikotropika dapat menyebabkan efek dan dampak negatif bagi pemakainya. Dampak yang negatif itu sudah pasti merugikan dan sangat buruk efeknya bagi kesehatan mental dan fisik. Meskipun demikian terkadang beberapa jenis obat masih dipakai dalam dunia kedokteran, namun hanya diberikan bagi pasien-pasien tertentu, bukan untuk dikonsumsi secara umum dan bebas oleh masyarakat. Oleh karena itu obat dan narkotik yang disalahgunakan dapat menimbulkan berbagai akibat yang beraneka ragam.

Narkoba dan bahaya pemakainnya di kalangan remaja

Apa yang disebut NARKOBA
Narkoba (singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif berbahaya lainnya) adalah bahan/zat yang jika dimasukan dalam tubuh manusia, baik secara oral/diminum, dihirup, maupun disuntikan, dapat mengubah pikiran, suasana hati atau perasaan, dan perilaku seseorang. Narkoba dapat menimbulkan ketergantungan (adiksi) fisik dan psikologis.
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan (Undang-Undang No. 22 tahun 1997). Yang termasuk jenis Narkotika adalah :
• Tanaman papaver, opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko), opium obat, morfina, kokaina, ekgonina, tanaman ganja, dan damar ganja.
• Garam-garam dan turunan-turunan dari morfina dan kokaina, serta campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan tersebut di atas.
Psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku (Undang-Undang No. 5/1997). Zat yang termasuk psikotropika antara lain:
• Sedatin (Pil BK), Rohypnol, Magadon, Valium, Mandarax, Amfetamine, Fensiklidin, Metakualon, Metifenidat, Fenobarbital, Flunitrazepam, Ekstasi, Shabu-shabu, LSD (Lycergic Alis Diethylamide), dsb.
Bahan Adiktif berbahaya lainnya adalah bahan-bahan alamiah, semi sintetis maupun sintetis yang dapat dipakai sebagai pengganti morfina atau kokaina yang dapat mengganggu sistim syaraf pusat, seperti:
• Alkohol yang mengandung ethyl etanol, inhalen/sniffing (bahan pelarut) berupa zat organik (karbon) yang menghasilkan efek yang sama dengan yang dihasilkan oleh minuman yang beralkohol atau obat anaestetik jika aromanya dihisap. Contoh: lem/perekat, aceton, ether, dsb.
Jenis Narkoba menurut efeknya
Dari efeknya, narkoba bisa dibedakan menjadi tiga:
1. Depresan, yaitu menekan sistem sistem syaraf pusat dan mengurangi aktifitas fungsional tubuh sehingga pemakai merasa tenang, bahkan bisa membuat pemakai tidur dan tak sadarkan diri. Bila kelebihan dosis bisa mengakibatkan kematian. Jenis narkoba depresan antara lain opioda, dan berbagai turunannya seperti morphin dan heroin. Contoh yang populer sekarang adalah Putaw.
2. Stimulan, merangsang fungsi tubuh dan meningkatkan kegairahan serta kesadaran. Jenis stimulan: Kafein, Kokain, Amphetamin. Contoh yang sekarang sering dipakai adalah Shabu-shabu dan Ekstasi.
3. Halusinogen, efek utamanya adalah mengubah daya persepsi atau mengakibatkan halusinasi. Halusinogen kebanyakan berasal dari tanaman seperti mescaline dari kaktus dan psilocybin dari jamur-jamuran. Selain itu ada jugayang diramu di laboratorium seperti LSD. Yang paling banyak dipakai adalah marijuana atau ganja.
Penyalahgunaan Narkoba
Kebanyakan zat dalam narkoba sebenarnya digunakan untuk pengobatan dan penefitian. Tetapi karena berbagai alasan - mulai dari keinginan untuk coba-coba, ikut trend/gaya, lambang status sosial, ingin melupakan persoalan, dll. - maka narkoba kemudian disalahgunakan. Penggunaan terus menerus dan berianjut akan menyebabkan ketergantungan atau dependensi, disebut juga kecanduan.
Tingkatan penyalahgunaan biasanya sebagai berikut:
  1. coba-coba
  2. senang-senang
  3. menggunakan pada saat atau keadaan tertentu
  4. penyalahgunaan
  5. ketergantungan
Dampak penyalahgunaan Narkoba
Bila narkoba digunakan secara terus menerus atau melebihi takaran yang telah ditentukan akan mengakibatkan ketergantungan. Kecanduan inilah yang akan mengakibatkan gangguan fisik dan psikologis, karena terjadinya kerusakan pada sistem syaraf pusat (SSP) dan organ-organ tubuh seperti jantung, paru-paru, hati dan ginjal.
Dampak penyalahgunaan narkoba pada seseorang sangat tergantung pada jenis narkoba yang dipakai, kepribadian pemakai dan situasi atau kondisi pemakai. Secara umum, dampak kecanduan narkoba dapat terlihat pada fisik, psikis maupun sosial seseorang.
Dampak Fisik:
1. Gangguan pada system syaraf (neurologis) seperti: kejang-kejang, halusinasi, gangguan kesadaran, kerusakan syaraf tepi
2. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler) seperti: infeksi akut otot jantung, gangguan peredaran darah
3. Gangguan pada kulit (dermatologis) seperti: penanahan (abses), alergi, eksim
4. Gangguan pada paru-paru (pulmoner) seperti: penekanan fungsi pernapasan, kesukaran bernafas, pengerasan jaringan paru-paru
5. Sering sakit kepala, mual-mual dan muntah, murus-murus, suhu tubuh meningkat, pengecilan hati dan sulit tidur
6. Dampak terhadap kesehatan reproduksi adalah gangguan padaendokrin, seperti: penurunan fungsi hormon reproduksi (estrogen, progesteron, testosteron), serta gangguan fungsi seksual
7. Dampak terhadap kesehatan reproduksi pada remaja perempuan antara lain perubahan periode menstruasi, ketidakteraturan menstruasi, dan amenorhoe (tidak haid)
8. Bagi pengguna narkoba melalui jarum suntik, khususnya pemakaian jarum suntik secara bergantian, risikonya adalah tertular penyakit seperti hepatitis B, C, dan HIV yang hingga saat ini belum ada obatnya
9. Penyalahgunaan narkoba bisa berakibat fatal ketika terjadi Over Dosis yaitu konsumsi narkoba melebihi kemampuan tubuh untuk menerimanya. Over dosis bisa menyebabkan kematian
 Dampak Psikis:
1. Lamban kerja, ceroboh kerja, sering tegang dan gelisah
2. Hilang kepercayaan diri, apatis, pengkhayal, penuh curiga
3. Agitatif, menjadi ganas dan tingkah laku yang brutal
4. Sulit berkonsentrasi, perasaan kesal dan tertekan
5. Cenderung menyakiti diri, perasaan tidak aman, bahkan bunuh diri
Dampak Sosial:
1. Gangguan mental, anti-sosial dan asusila, dikucilkan oleh lingkungan
2. Merepotkan dan menjadi beban keluarga
3. Pendidikan menjadi terganggu, masa depan suram
Dampak fisik, psikis dan sosial berhubungan erat. Ketergantungan fisik akan mengakibatkan rasa sakit yang luar biasa (sakaw) bila terjadi putus obat (tidak mengkonsumsi obat pada waktunya) dan dorongan psikologis berupa keinginan sangat kuat untuk mengkonsumsi (bahasa gaulnya sugest). Gejata fisik dan psikologis ini juga berkaitan dengan gejala sosial seperti dorongan untuk membohongi orang tua, mencuri, pemarah, manipulatif, dll.
Bahaya bagi Remaja
Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan seseorang dalam masa anak-anak dan remaja akan membentuk perkembangan diri orang tersebut di masa dewasa. Karena itulah bila masa anak-anak dan remaja rusak karena narkoba, maka suram atau bahkan hancurlah masa depannya.
Pada masa remaja, justru keinginan untuk mencoba-coba, mengikuti trend dan gaya hidup, serta bersenang-senang besar sekali. Walaupun semua kecenderungan itu wajar-wajar saja, tetapi hal itu bisa juga memudahkan remaja untuk terdorong menyalahgunakan narkoba. Data menunjukkan bahwa jumlah pengguna narkoba yang paling banyak adalah kelompok usia remaja.
Masalah menjadi lebih gawat lagi bila karena penggunaan narkoba, para remaja tertular dan menularkan HIV/AIDS di kalangan remaja. Hal ini telah terbukti dari pemakaian narkoba melalui jarum suntik secara bergantian. Bangsa ini akan kehilangan remaja yang sangat banyak akibat penyalahgunaan narkoba dan merebaknya HIV/AIDS. Kehilangan remaja sama dengan kehilangan sumber daya manusia bagi bangsa.
Apa yang masih bisa dilakukan?
Banyak yang masih bisa dilakukan untuk mencegah remaja menyalahgunakan narkoba dan membantu remaja yang sudah terjerumus penyalahgunaan narkoba. Ada tiga tingkat intervensi, yaitu
1. Primer, sebelum penyalahgunaan terjadi, biasanya dalam bentuk pendidikan, penyebaran informasi mengenai bahaya narkoba, pendekatan melalui keluarga, dll. Instansi pemerintah, seperti halnya BKKBN, lebih banyak berperan pada tahap intervensi ini. kegiatan dilakukan seputar pemberian informasi melalui berbagai bentuk materi KIE yang ditujukan kepada remaja langsung dan keluarga.
2. Sekunder, pada saat penggunaan sudah terjadi dan diperlukan upaya penyembuhan (treatment). Fase ini meliputi: Fase penerimaan awal (initialintake)antara 1 - 3 hari dengan melakukan pemeriksaan fisik dan mental, dan Fase detoksifikasi dan terapi komplikasi medik, antara 1 - 3 minggu untuk melakukan pengurangan ketergantungan bahan-bahan adiktif secara bertahap.
3. Tertier, yaitu upaya untuk merehabilitasi merekayang sudah memakai dan dalam proses penyembuhan. Tahap ini biasanya terdiri atas Fase stabilisasi, antara 3-12 bulan, untuk mempersiapkan pengguna kembali ke masyarakat, dan Fase sosialiasi dalam masyarakat, agar mantan penyalahguna narkoba mampu mengembangkan kehidupan yang bermakna di masyarakat. Tahap ini biasanya berupa kegiatan konseling, membuat kelompok-kelompok dukungan, mengembangkan kegiatan alternatif, dll.

Selasa, 21 September 2010

Mental Pengemis

Beberapa orang anak kecil terlihat berjaga-jaga di sekitar parkiran mobil dan motor di halaman sebuah masjid. Ketika sang empunya kendaraan datang, mereka pun beraksi. "Parkir, Om." Sembari menengadahkan tangan berharap ada uang tanda terima kasih yang mereka terima. Kadang-kadang pemilik kendaraan jengkel, bahkan ada yang mencemooh. "Lho, di sini kan tidak pakai biaya parkir. Kalau ada yang hilang, mau tanggung jawab?"

Sering terlintas rasa iba kepada anak-anak kecil itu. Tetapi, kalau mental pengemis sudah bersarang di kepalanya, harus dicegah sedini mungkin. Bayangkan saja, orang yang memarkir kendaraan walau sebentar saja, diminta bayar parkiran. Padahal, jangankan tarif, bukti tanda parkir saja tidak ada. Masih kecil sudah mentalnya peminta-minta. Bagaimana kalau berlanjut sampai dewasa?

Hampir setiap hari, bila melintas di jalan raya perkotaan, kita akan melihat banyaknya pengemis di jalanan. Dari yang tua sampai yang bocah. Bahkan yang cacat pun tidak mau ketinggalan. Pemerintah setidaknya sudah melakukan langkah-langkah untuk memberantas para pengemis jalanan. Dirazia sampai kucing-kucingan dengan aparat pemerintah kota. Setelah ditangkap dan dibina, mereka dilepas untuk mencari pekerjaan yang lebih layak dan beradab. Tapi tak jarang yang sudah dibina kembali menjadi pengemis. Mungkin sudah mental pengemisnya warisan sejak lahir.

Wajib, ada langkah yang lebih konkret yang semestinya dilakukan oleh pemerintah. Dirazia, dibina, dan dilepas kembali sepertinya tidak menimbulkan efek jera. Ujung-ujungnya kembali ke jalanan. Mengemis harta orang. Bahkan yang paling miris, ada salah satu perkampungan mewah di salah satu kota di negeri ini (saya tonton di televisi) yang warganya berprofesi sebagai pengemis. Ada musimnya mereka ke kota menjadi pengemis, dan ada musimnya mereka pulang kampung. Ya.. mental pengemis, mental para pemalas. 

Merosotnya Moral Generasi Zaman ini

Kita sama-sama ketahui bahwasanya anak adalah penerus bangsa dan merupakan harapan orang tua. Sebagai orang tua mestinya harus memantau kegiatan anak. Khusus usia anak dini. Mereka sangat mudah dipengaruhi lingkungan sekitarnya jika tidak diperhatikan bisa mengubah sikap mental dan psikologi anak.

Diera sekarang ini informasi sangatlah cepat mudah didapat baik melalui jaringan internet atau media cetak. makanya setiap waktu kejahatan terlihat dimata maupun kejahatan itu tersembunyi. Namun moral anak sedang dijajah walaupun tidak terlihat secara kasat mata.

Jaksa Agung Herdarman mengemukakan untuk apa mempunyai orang cerdas akan tetapi mentalnya buruk dan bahkan nantinya akan terlibat korupsi. Lebih baik orang yang tidak pintar tetapi jujur daripada orang pintar namun culas. "Tapi akan lebih baik lagi jika orang pintar jujur," katanya.

Seringkali kita mendengar hasil penelitian bahwa lebih dari 60% anak remaja wanita usia anak SMP dan SMA telah dinyatakan tidak perawan lagi. Bagaimana nasib semua remaja tersebut di masa depan? Marilah kita memutus mata rantai penyebab kebobrokan moral dan akhlak generasi muda hari ini. Dengan memberikan pendidikan moral agama dan spritualitas yang komprehensif dan tidak kaku, serta berusaha membentengi diri dari hal-hal yang bisa menjerumuskan mereka ke arah kehancuran moral dan diri mereka sendiri, hari ini mereka belum sadar tapi ketika mereka telah dewasa baru menyesal, tidak ada lagi harapan , keperawanan sangat mahal harganya bagi kalian wahai wanita. Tolong jaga itu.

Indonesia Bisa Mengurangi Pengangguran

Indonesia adalah negara yang memiliki beraneka ragam kebudayaan. Sebenarnya, dengan letarinya kebudayaan tersebut, maka dapat membantu ekonomi negara ini dan dapat mengurangi pengangguran.

Ini hanya cara berpikir saya tentang bagaimana cara mengurangi pengangguran. Setiap daerah tentu memiliki suatu kebudayaan dan adat istiadat masing-masing. Alangkah lebih baik jika setiap daerah melestarikan kebudayaannya. Kemudian,para pemuda atau orang-orang yang belum memiliki pekerjaan sebaiknya membentuk suatu komunitas. Komunitas itu nantinya akan melestarikan budaya daerahnya kemudian memperkenalkan budaya ataupun adat istiadat tersebut kepada orang yang berasal dari daerah lain, atau bahkan kepada orang yang berasal dari negeri.

Hal tersebut juga dapat menunjang ekonomi dari bidang pariwisata. Karena seperti kita ketahui,bahwa Indonesia masih belum bisa memanfaatkan keanekaragaman ini secara maksimal. Terbukti dari sedikitnya kebudayaan yang dijadikan tempat wisata jumlahnya sangat minim. Yang terkenal hanyalah wisata di pulau Bali. Mungkin, bisa dikatakan bahwa kita dapat melihat kebudayaan Indonesia hanya dari Taman Mini Indonesia, yang menunjukkan beragam rumah adat.

Coba saja kita pikirkan, kalau kita semua bisa melestarikan budaya kita. Selain mengurangi pengangguran, kita juga dapat membantu ekonomi rakyat. Dan yang lebih penting lagi, kita dapat memperkenalkan kepada dunia betapa indahnya negeri kita, betapa hebatnya negeri kita, karena bisa tetap utuh dengan keragaman budayanya.

Saya Pengemis, Bukan Koruptor


Jangan salah! Sekarang di Indonesia, bukan hanya koruptor yang akan diuber pihak berwajib dan dikenai hukuman. Pengemis pun bakal tidak akan bisa bergerak bebas lagi di Indonesia. Dengan kalimat lain, pengemis itu pelaku kriminal.

Alangkah mirisnya jika ada pengemis, saat diamankan petugas, mereka berusaha membela diri sembari mengatakan, "Jangan tangkap saya, Pak Polisi. Saya ini cuma pengemis. Bukan koruptor. Bukan maling. Bukan jambret atau copet. Bukan pemerkosa. Bukan pembunuh berantai".

Sementara sang petugas menyahutinya, "Ah, sama saja. Itu sudah ada peraturannya !".

Pengemis memang unik. Adakalanya punya persamaan, sekaligus perbedaan, dengan koruptor. Satu sisi, pengemis itu sejenis manusia tidak produktif. mengemis itu pekerjaannya. Meminta-minta uang, dari satu rumah ke rumah lain. Atau, diam di satu tempat umum sembari menengadahkan tangan ke setiap pejalan kaki.

Sisi lainnya, untuk "Jadi Pengemis", dituntut memiliki otak yang cerdas ditunjang jasad yang kuat dan sehat, kecuali mereka yang cacat. Logikanya, mereka harus berpikir cerdas menentukan lokasi "basah" dan bergegas menuju ke sana, untuk bekerja. Siang hari, mereka berhadapan dengan terik matahari. Di musim hujan, mereka berhadapan dengan air. Jika malam, mereka berhadapan dengan dingin yang menusuk tulang.

Persamaan pengemis dengan koruptor terletak pada kemauan untuk bekerja mengeluarkan tenaga minimal yang bisa menghasilkan uang maksimal. Tidak dibutuhkan keahlian, selain nyali menahan malu dibilang "pengemis" atau koruptor. Keduanya pun sekarang sama-sama menduduki posisi berkatagori kriminal.

Bedanya, menangkap pengemis itu mudah dibanding menangkap koruptor. Selain itu, pakaian pengemis biasanya lusuh sedangkan pakaian koruptor senantiasa bersih, rapi, dan necis.

Permasalahannya, ada indikasi adanya tranformasi budaya. Pengemis bukan melulu seorang berkondisi miskin dan tidak mampu bekerja, melainkan seorang yang mampu ada juga yang bekerja sebagai pengemis. Awalnya karena kondisi, berubah menjadi tradisi dan kebutuhan.

Seperti terjadi di Desa Pragaan Daja, Sumenep, dan Desa Tianyar Barat dan Desa Tianyar Tengah, Karangasem, Bali. Dari beberapa sumber, ketiga nama desa tersebut diketahui sebagai daerah asal para pengemis. Bahkan secara ekstrem dijuluki DESA PENGEMIS.

Nah, dalam skala Indonesia, keberadaan tiga Desa Pengemis boleh jadibukan aib. Tapi, mestinya itu menjadi perhatian kita bersama, karena ketiganya bukan pula kebanggaan.
 

Terkikisnya Semangat Gotong Royong

Sadarkah kalian bahwa kecanggihan teknologi tidak hanya memiliki dampak yang positif? Teknologi yang seperti kita ketahui bisa membantu kita mengerjakan pekerjaan kita, sebenarnya juga memiliki dampak negative. Antara lain, teknologi dapat disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab sehingga teknologi dijadikan sarana untuk melakukan kejahatan atau tindak pidana yang dapat merugikan orang banyak. Selain itu, teknologi juga menjadikan manusia memiliki sifat individualism yang sangat tinggi.

Seperti yang kita ketahui,Indonesia terkenal dengan keramahan dan semangat "gotong-royong"-nya. Tetapi, kecanggihan teknologi membuat semangat gotong-royong itu semakin terkikis. Terutama di wilayah perkotaan. Hal ini terjadi karena para penduduk yang tinggal di kota sudah sangat dimanjakan dengan kecanggihan teknologi. Sehingga, bisa dikatakan hampir 90% penduduk kota menganggap bahwa mereka bisa mengerjakan pekerjaan mereka dengan mudah,tanpa bantuan dari orang lain. Inilah yang membuat mereka kurang bersosialisasi meskipun hanya dengan tetangga mereka.

Berbeda sekali dengan penduduk desa yang masih minim pengetahuan dan teknologi. Mereka masih menggunakan alat-alat tradisional untuk mengerjakan pekerjaan mereka. Namun demikian, justru hal inilah yang membuat mereka masih memiliki semangat gotong-royong dan saling berbagi.

Sekarang, saya sadar. Minimnya pengetahuan seseorang terhadap teknologi justru memiliki dampak yang positif. Yaitu, dapat menjadikan seseorang tidak melupakan bahwa dirinya terlahir sebagai makhluk sosial. Dan saya berharap, orang-orang yang tinggal di kota dapat mencontoh semangat gotong-royong di desa agar memiliki kehidupan yang seimbang.

Kemiskinan Menjadi Masalah Yang Belum Teratasi

Mengapa Kemiskinan di Indonesia Menjadi Masalah Berkelanjutan?

SEJAK awal kemerdekaan, bangsa Indonesia telah mempunyai perhatian besar terhadap terciptanya masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana termuat dalam alinea keempat Undang-Undang Dasar 1945. Program-program pembangunan yang dilaksanakan selama ini juga selalu memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan karena pada dasarnya pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun demikian, masalah kemiskinan sampai saat ini terus-menerus menjadi masalah yang berkepanjangan.
PADA umumnya, partai-partai peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 juga mencantumkan program pengentasan kemiskinan sebagai program utama dalam platform mereka. Pada masa Orde Baru, walaupun mengalami pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, yaitu rata-rata sebesar 7,5 persen selama tahun 1970-1996, penduduk miskin di Indonesia tetap tinggi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1996 masih sangat tinggi, yaitu sebesar 17,5 persen atau 34,5 juta orang. Hal ini bertolak belakang dengan pandangan banyak ekonom yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan pada akhirnya mengurangi penduduk miskin.
Perhatian pemerintah terhadap pengentasan kemiskinan pada pemerintahan reformasi terlihat lebih besar lagi setelah terjadinya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997. Meskipun demikian, berdasarkan penghitungan BPS, persentase penduduk miskin di Indonesia sampai tahun 2003 masih tetap tinggi, sebesar 17,4 persen, dengan jumlah penduduk yang lebih besar, yaitu 37,4 juta orang.
Bahkan, berdasarkan angka Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) pada tahun 2001, persentase keluarga miskin (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) pada 2001 mencapai 52,07 persen, atau lebih dari separuh jumlah keluarga di Indonesia. Angka- angka ini mengindikasikan bahwa program-program penanggulangan kemiskinan selama ini belum berhasil mengatasi masalah kemiskinan di Indonesia.
Penyebab kegagalan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program- program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin.Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin dan program jaring pengaman sosial (JPS) untuk orang miskin. Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Alangkah lebih baik apabila dana-dana bantuan tersebut langsung digunakan untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM), seperti dibebaskannya biaya sekolah, seperti sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), serta dibebaskannya biaya- biaya pengobatan di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas).
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan lokal, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai contoh adalah kasus yang terjadi di Kabupaten Sumba Timur. Pemerintah Kabupaten Sumba Timur merasa kesulitan dalam menyalurkan beras untuk orang miskin karena adanya dua angka kemiskinan yang sangat berbeda antara BPS dan BKKBN pada waktu itu.
Di satu pihak angka kemiskinan Sumba Timur yang dihasilkan BPS pada tahun 1999 adalah 27 persen, sementara angka kemiskinan (keluarga prasejahtera dan sejahtera I) yang dihasilkan BKKBN pada tahun yang sama mencapai 84 persen. Kedua angka ini cukup menyulitkan pemerintah dalam menyalurkan bantuan-bantuan karena data yang digunakan untuk target sasaran rumah tangga adalah data BKKBN, sementara alokasi bantuan didasarkan pada angka BPS.
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Untuk data mikro, beberapa lembaga pemerintah telah berusaha mengumpulkan data keluarga atau rumah tangga miskin secara lengkap, antara lain data keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN dan data rumah tangga miskin oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Meski demikian, indikator- indikator yang dihasilkan masih terbatas pada identifikasi rumah tangga. Di samping itu, indikator-indikator tersebut selain tidak bisa menjelaskan penyebab kemiskinan, juga masih bersifat sentralistik dan seragam-tidak dikembangkan dari kondisi akar rumput dan belum tentu mewakili keutuhan sistem sosial yang spesifik-lokal.
Strategi ke depan
Berkaitan dengan penerapan otonomi daerah sejak tahun 2001, data dan informasi kemiskinan yang ada sekarang perlu dicermati lebih lanjut, terutama terhadap manfaatnya untuk perencanaan lokal.
Strategi untuk mengatasi krisis kemiskinan tidak dapat lagi dilihat dari satu dimensi saja (pendekatan ekonomi), tetapi memerlukan diagnosa yang lengkap dan menyeluruh (sistemik) terhadap semua aspek yang menyebabkan kemiskinan secara lokal.
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat nasional, tingkat kabupaten/kota, maupun di tingkat komunitas.
Masalah utama yang muncul sehubungan dengan data mikro sekarang ini adalah, selain data tersebut belum tentu relevan untuk kondisi daerah atau komunitas, data tersebut juga hanya dapat digunakan sebagai indikator dampak dan belum mencakup indikator-indikator yang dapat menjelaskan akar penyebab kemiskinan di suatu daerah atau komunitas.
Dalam proses pengambilan keputusan diperlukan adanya indikator-indikator yang realistis yang dapat diterjemahkan ke dalam berbagai kebijakan dan program yang perlu dilaksanakan untuk penanggulangan kemiskinan. Indikator tersebut harus sensitif terhadap fenomena-fenomena kemiskinan atau kesejahteraan individu, keluarga, unit-unit sosial yang lebih besar, dan wilayah.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Belum memadai
Ukuran-ukuran kemiskinan yang dirancang di pusat belum sepenuhnya memadai dalam upaya pengentasan kemiskinan secara operasional di daerah. Sebaliknya, informasi-informasi yang dihasilkan dari pusat tersebut dapat menjadikan kebijakan salah arah karena data tersebut tidak dapat mengidentifikasikan kemiskinan sebenarnya yang terjadi di tingkat daerah yang lebih kecil. Oleh karena itu, di samping data kemiskinan makro yang diperlukan dalam sistem statistik nasional, perlu juga diperoleh data kemiskinan (mikro) yang spesifik daerah. Namun, sistem statistik yang dikumpulkan secara lokal tersebut perlu diintegrasikan dengan sistem statistik nasional sehingga keterbandingan antarwilayah, khususnya keterbandingan antarkabupaten dan provinsi dapat tetap terjaga.
Dalam membangun suatu sistem pengelolaan informasi yang berguna untuk kebijakan pembangunan kesejahteraan daerah, perlu adanya komitmen dari pemerintah daerah dalam penyediaan dana secara berkelanjutan. Dengan adanya dana daerah untuk pengelolaan data dan informasi kemiskinan, pemerintah daerah diharapkan dapat mengurangi pemborosan dana dalam pembangunan sebagai akibat dari kebijakan yang salah arah, dan sebaliknya membantu mempercepat proses pembangunan melalui kebijakan dan program yang lebih tepat dalam pembangunan.
Keuntungan yang diperoleh dari ketersediaan data dan informasi statistik tersebut bahkan bisa jauh lebih besar dari biaya yang diperlukan untuk kegiatan-kegiatan pengumpulan data tersebut. Selain itu, perlu adanya koordinasi dan kerja sama antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholder), baik lokal maupun nasional atau internasional, agar penyaluran dana dan bantuan yang diberikan ke masyarakat miskin tepat sasaran dan tidak tumpang tindih.
Ketersediaan informasi tidak selalu akan membantu dalam pengambilan keputusan apabila pengambil keputusan tersebut kurang memahami makna atau arti dari informasi itu. Hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya kemampuan teknis dari pemimpin daerah dalam hal penggunaan informasi untuk manajemen.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program.
Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah.
Berkaitan dengan hal tersebut, perlu disadari bahwa walaupun kebutuhan sistem pengumpulan data yang didesain, diadministrasikan, dianalisis, dan didanai pusat masih penting dan perlu dipertahankan, sudah saatnya dikembangkan pula mekanisme pengumpulan data untuk kebutuhan komunitas dan kabupaten.
Mekanisme pengumpulan data ini harus berbiaya rendah, berkelanjutan, dapat dipercaya, dan mampu secara cepat merefleksikan keberagaman pola pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial budaya di antara komunitas pedesaan dan kota, serta kompromi ekologi yang meningkat.